GELORA.CO - Beberapa jam jelang kepergiannya dari Gedung Putih, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo tetap konsisten mengatakan bahwa China telah melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim Uighur dan etnis minoritas di wilayah otonom Xinjiang.
Dalam pernyataannya yang dimuat di situs resmi Kementerian Luar Negeri AS, pada Selasa (19/1), Pompeo mengatakan bahwa AS telah mendokumentasikan tindakan China di Xinjiang sejak Maret 2017.
Disebutkan bahwa otoritas China telah meningkatkan kampanye penindasan mereka terhadap Uighur dan anggota kelompok etnis dan agama minoritas lainnya, termasuk etnis Kazakh dan etnis Kirgiz.
"Setelah memeriksa dengan cermat fakta-fakta yang ada, saya telah memutuskan bahwa setidaknya sejak Maret 2017, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), di bawah arahan dan kendali Partai Komunis Tiongkok (PKT), telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap sebagian besar Muslim Uighur dan anggota kelompok etnis dan agama minoritas lainnya di Xinjiang," ujar Pompeo, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Rabu (20/1).
Kejahatan kemanusiaan yang disebut Pompeo itu termasuk pemenjaraan sewenang-wenang, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan, kerja paksa, dan pembatasan kebebasan beragama.
"Saya yakin genosida ini sedang berlangsung, dan kami menyaksikan upaya sistematis untuk menghancurkan Uyghur oleh negara partai China," tambahnya.
Pompeo juga menuntut agar China segera membebaskan mereka yang ditahan dan menghentikan sistem interniran, kamp penahanan, tahanan rumah dan kerja paksa.
China harus mengakhiri langkah-langkah pengendalian populasi yang memaksa, aborsi paksa, dan pemindahan anak-anak dari keluarga mereka dan mengakhiri semua penyiksaan dan pelecehan di tempat-tempat penahanan, menurut Pompeo.
Wilayah Xinjiang adalah rumah bagi 10 juta orang Uighur. Kelompok Muslim Turki, yang membentuk sekitar 45 persen dari populasi Xinjiang, telah lama menuduh pihak berwenang melakukan diskriminasi budaya, agama dan ekonomi.
Lebih dari 1 juta orang, atau sekitar 7 persen dari populasi Muslim di Xinjiang, telah ditahan dalam jaringan kamp "pendidikan ulang politik" yang meluas, menurut pejabat AS dan pakar PBB.
Kamp-kamp tersebut telah dikaitkan dengan kerja paksa dan sterilisasi wajib.[rmol]