logo

26 Mei 2021

Jadi Pangkostrad, Dudung tak Peduli Dituding Cuma Berani Turunin Baliho FPI



GELORA.CO - Panglma Kodam Jaya, Mayjen Dudung Abdurachman pun tidak peduli dituding hanya berani menurunkan baliho Front Pembela Islam (FPI) saja. Dudung telah membuktikan ia dilahirkan sebagai perwira tempur. Penugasan pertamanya sebagai perwira setelah lulus Akmil 1988-B, ditempatkan di Batalyon Infanteri (Yonif) 744 Dili, Timor Timur.

Selama tujuh tahun 1988-1993 sebagai komandan peleton, ia bergelut dengan suasana operasi militer di Timor Timur. Setelah itu ia dipindahkan ke Yonif 741 di Kota Denpasar, Provinsi Bali. Ia juga beberapa kali ditugaskan dalam operasi di Aceh maupun Maluku, termasuk dua kali sebagai pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sebagai komandan peleton, komandan kompi, wakil komandan batalyon, dan komandan batalyon, ia ditugaskan ke daerah operasi. "Kalau ada yang meledek saya hanya berani turunkan baliho saja, tidak apa-apa. Mungkin mereka belum tahu riwayat penugasan operasi saya sejak pangkat Letda hingga Letkol," ujarnya di Jakarta, belum lama ini.

Dalam beberapa kesempatan wawancara, Dudung mengungkapkan, di manapun dia ditugaskan, harus ada getaran yang dilakukannya sebagai pemimpin. "Pemimpin harus bisa menciptakan getaran dalam setiap jabatan yang diamanahkan," ujar Dudung yang sedang mengambil kuliah doktoral manajemen strategis.

Dudung memang dikenal berani mengambil risiko dan tidak begitu peduli dengan penilaian orang lain atas keberanian sikapnya. "Saya ini orang kecil. Menjadi anak yatim saat masih SMP. Almarhum ayah saya wafat saat saya di SMP. Sehingga saya harus membantu ibu dengan bekerja sejak SMP hingga SMA," kata Dudung dalam wawancara dengan penulis di atas mobil dinasnya, baru-baru ini.

Sambil wawancara, kemudian melaksanakan sholat Jumat di sebuah masjid di Kawasan Menteng. Dudung menceritakan saat remaja kerap tidur dari satu masjid ke masjid lainnya. Rumah ibadah itu tempat untuk mengadu kepada Allah, Tuhan sang Maha pencipta. Sehingga ia tidak meninggalkan sholat lima waktu dan membaca Alquran. Ia harus menjadi loper koran di Bandung.

Pekerjaan yang dimulai saat Subuh mengantarkan koran ke rumah-rumah dan sejumlah instansi di Bandung. Setelah itu ia menjual kue-kue, sebelum berangkat ke sekolah. “Bapak saya hanya seorang pegawai negeri sipil di Bekang Kodam Siliwangi. Saya anak keenam dari delapan bersaudara. Ibu saya hanya ibu rumah tangga."

Saat menjadi Gubernur Akmil, ia juga membangun gereka Katolik dan pura bagi taruna beraga Katolik dan Hindu untuk melaksanakan ibadah. "Sekian tahun mereka tidak punya tempat ibadah di Akmil. Saya bangunkan tempat ibadah supaya mereka dekat dengan Tuhan sesuai agama dan kepercayannya masing-masing."

Cita-citanya hanya menjadi perwira biasa saja. Tidak membayangkan akan menjadi jenderal. Kalau sekarang menjadi jenderal, baginya itu berkah Allah. Cita-citanya berawal ketika menjual kue kelepon, baskomnya ditendang tentara di Kodam Siliwangi.

"Dari situ saya dendam. Awas ya kalau nanti saya jadi perwira, saya akan benahi tentara-tentara yang zalim kepada rakyat," kata Dudung. Ia menikah dengan Rahma Setyaningsih, anak dari Mayjen (Purn) Cholid Ghozali, abituren Akmil 1965.

Dia menyadari hidup ini banyak mengandung risiko, namun Dudung meyakini, jika hati nurani kuat, apa pun harus berani dihadapi. Termasuk risiko itu sendiri. Lulus dari SMAN 9 Bandung, Dudung mendaftarkan diri menjadi taruna Akmil. Ia langsung lulus tanpa bantuan siapa pun.

"Siapa yang mau membantu saya? Tidak kenal siapa pun pejabat militer di Bandung. Modal saya berdoa dan berlatih keras agar bisa lulus menjadi taruna Akmil."

Ia rajin mengaji di masjid-masjid saat harus istirahat setelah bekerja. Kerap pula tidur di masjid-masjid. "Allah sayang kepada saya sebagai anak yatim dan bekerja siang malam untuk membantu Ibu. Dia ibu yang menyertai saya bekerja dan sekolah. Saya tidak pintar-pintar amat, tapi setidaknya selalu masuk rangking atas jika sekolah, termasuk di sekolah militer."

Musik Sunda dan pengajian selalu menyertai Dudung di mobil dinasnya. Ia menyadari bahwa tidak boleh melupakan asal usulnya sebagai orang Sunda dan beragama Islam. “Komitmen ke-Islaman saya, komimen kebangsaan saya sebagai anak Indonesia, dan komitmen saya mencintai budaya asal usul saya jangan diragukan lagi,” kata Dudung. (*)