logo

25 Desember 2021

NU Tidak Boleh Terjebak Politik Praktis, Harus Politik Kebangsaan



GELORA.CO -Orientasi khittah 1926 menjadi janji politik yang harus dipenuhi KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU terpilih di mana kepemimpinannya akan diarahkan untuk menjaga netralitas dan independensi Nadhlatul Ulama (NU).

Namun demikian, PBNU tetap memiliki tanggung jawab modal untuk menjaga arah politik dan demokrasi Indonesia, dengan memainkan peran strategis dalam konteks politik kebangsaan.



Demikian disampaikan Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam dalam keterangannya yang diterima redaksi, Sabtu (25/12).

"NU tidak boleh terjebak dalam politik praktis. Salah satu yang perlu dijadikan prioritas dalam politik kebangsaan adalah terus menjaga tegaknya Islam wasathiyah (toleran dan moderat) dalam ruang demokrasi Indonesia," kata Khoirul Umam.

Ia menuturkan, pada sejumlah Pilkada dan Pemilu 2019 lalu, Indonesia memang mendapatkan tantangan serius dari kekuatan ekonomi-politik yang memanfaatkan sentimen Islam konservatif dan fundamentalis.

NU, kata Khoirul Umam, menjadi jangkar, pengayom, sekaligus tempat bertemunya (melting point) seluruh kekuatan Islam moderat di Indonesia.

"Agar eksploitasi politik identitas yang digarap melalui hoax, fake news dan hate speach yang membanjiri ruang demokrasi digital di Tanah Air bisa dinetralisir dengan optimal," demikian mantan Ketua Tanfidz PCI-NU Queensland Australia ini.

KH Yahya Cholil Staquf resmi terpilih sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode 2021 hingga 2026.

Gus Yahya mendapat suara 337, unggul dari rivalnya Said Aqil Siroj yang mencatatkan 210 suara dalam proses pemilihan dalam Sidang Pleno V Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama di Gedung Serbaguna Universitas Lampung, Bandar Lampung, Jumat (24/12). (RMOL)