GELORA.CO - Hukumannya diturunkan, Edhy Prabowo dianggap Mahkamah Agung (MA) telah bekerja baik saat menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Pertimbangan itu yang dijadikan alasan Majelis Hakim Kasasi MA dalam mengurangi masa hukuman Edhy.
Mulanya Edhy Prabowo divonis penjara 9 tahun, lalu dipotong empat tahun. Potongan hukuman itu berdasarkan putusan Majelis Kasasi MA nomor 942 K/Pid.Sus/2022 tanggal 7 Maret 2022 atas nama Edhy Prabowo.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menolak permohonan kasasi dari pemohon, dalam hal ini terdakwa Edhy Prabowo.
Namun demikian, Majelis Hakim Kasasi memperbaiki putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) para Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 30/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI tanggal 1 November 2021 yang mengubah putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 26/Pid.Sus/TPK/2021/PN. Jkt. Pst tanggal 15 Juli 2021 mengenai pidana yang dijatuhkan kepada Edhy.
Majelis Hakim Kasasi menjatuhkan pidana kepada Edhy dengan pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda sebesar Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan.
Selain itu, Majelis Hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama dua tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Dalam putusannya, Majelis Hakim mempertimbangkan alasan meringankan pidana untuk Edhy. Menurut Majelis Hakim, putusan Pengadilan Tinggi DKI yang mengubah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa Edhy.
Sehingga menurut Majelis Hakim Kasasi, perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada Edhy saat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya bagi nelayan.
Hal itu dikarenakan Edhy mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 12/PERMEN-KP/2020.
Peraturan tersebut diganti dengan tujuan adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster untuk kesejahteraan masyarakat, yaitu ingin memberdayakan nelayan dan juga untuk dibudidayakan karena lobster di Indonesia sangat besar.
Lebih lanjut kata Majelis Hakim Kasasi, dalam Peraturan Menteri yang baru tersebut menjelaskan bahwa eksportir disyaratkan untuk memperoleh benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL sehingga jelas perbuatan terdakwa Edhy tersebut untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil.
Adapun sebagai Ketua Majelis Hakim Kasasi, yaitu Sofyan Sitompul dengan didampingi dua Anggota Majelis Hakim Kasasi, Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani.
Dalam putusan Majelis Hakim PT DKI sebelumnya yang diputuskan pada Senin, 1 November 2021, hukuman untuk Edhy diperberat menjadi sembilan tahun dan denda sebesar Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan.
Selain itu, Edhy juga dihukum untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan sejumlah 77 ribu dolar Amerika Serikat subsider tiga tahun kurungan dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan oleh terdakwa.
Tak hanya itu, Edhy juga dijatuhi pidana tambahan terhadap berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya.
Putusan banding tersebut diketahui lebih berat dari putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Di mana, pada peradilan tingkat pertama itu, Edhy divonis lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan.
Selain itu, Edhy juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dolar AS subsider dua tahun kurungan.
Edhy juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun setelah Edhy menjalani pidana pokoknya.
Sumber: rmol