logo

1 April 2020

Cerita Dokter Tangani Pasien Corona: Tahan Pipis 10 Jam, Perah ASI di Waktu Senggang


GELORA.CO - Para dokter dan perawat menjadi ujung tombak penanganan virus Corona atau Covid-19.

Mereka menjadi garda terdepan, berhadapan langsung dengan pasien yang terjangkit virus Covid-19.

Di tengah keterbatasan alat dan fasilitas kesehatan, para petugas medis amat rawan terpapar virus corona.

Buktinya, 9 dokter meninggal dunia dalam sepekan. Beberapa di antaranya dinyatakan positif virus Corona.

Di DKI Jakarta, sebanyak 81 tenaga kesehatan positif mengidap virus Corona.

Meski beresiko terpapar virus Corona dan minimnya alat kesehatan, mereka terus bersemangat untuk bekerja memberikan pelayanan dan pengobatan kepada para pasien.

Berikut cerita mengharukan dokter dan perawat yang menangani pasien Corona atau covid-19.

Dokter Debryna Tahan Pipis 10 Jam

Dokter Debryna
Alat pelindung diri (APD) bagi para petugas medis merupakan pertahanan utama dalam menangkal Covid-19.

Alat itu seperti masker, kacamata pelindung, pakaian pelindung tubuh, dan sarung tangan.

Selama bertugas, pakaian tersebut tidak boleh dilepas. Tenaga medis tidak boleh makan, minum, dan buang air.

Debryna Dewi bekerja sebagai dokter di RS Wisma Atlet menceritakan kesulitan yang dihadapi melalui akun Intagramnya.

Pertama, kata Debryna, para dokter harus mengenakan APD hampir sepuluh jam.

“Bagaimana kalau lapar, haus dan lainnya? Bagi yang sudah biasa puasa akan oke sih. Tapi untuk menahan pipis itu susah sih. Kalau saya sih mentalnya belum kuat untuk pakai popok. Jadi saya berusaha menahan sekuat mungkin,” kata Debryna, seperti dilansir BBC News Indonesia, Rabu (1/4/2020).

Ia melanjutkan, para petugas medis pun selalu was-was jika pakaian pelindung tubuh yang bolong.

“Ada keparnoan kalau ada bolong sedikit saja, parno gitu kan, jadi benar-benar keep checking ke teman. Jika ada yang sobek terus langsung diselotip. Itu sebenarnya agak ribet karena tiap kali lihat bolong langsung cari selotip dan pasang dulu,” ujarnya.

Menurut Debryna, selama bekerja di Wisma Atlet, para petugas medis tinggal di sana, tidak boleh ke mana-mana dan akan dikarantina 14 hari jika tugasnya selesai.

Tidak lupa, ia juga bercerita tentang makanan darurat atau ransum yang disumbangkan oleh Ikatan Dokter Indonesia.

“Jadi masaknya di dalam kotak ini, ada nasinya juga. Terus ini rasa nasi sambel goreng daging. Jadi di dalamnya ada dagingnya. Enak kok, beneran enak saya tidak bohong,” ujar Debryna yang selalu tersenyum.

Debryna mengaku kangen dengan keadaan dunia seperti dulu, seperti jalan-jalan ke luar dan mengunjungi restoran yang baru buka.

“Virus itu tidak bisa dilihat, bahkan waktu masuk dalam tubuh kita saja kita tidak tahu. Sampai akhirnya kita tiba-tiba sakit dan menular. Terus terang waktu teman-teman saya tanya bagaimana rasanya mau masuk ke Wisma Atlet itu, saya takut sih,” imbuhnya.

Ia pun berpesan ke pada masyarakat untuk tinggal di rumah, dan jaga jarak.


“Kami, tenaga medis, istilahnya bagaimana cara meminimalisasikan apa yang sudah terjadi. Pasien yang sudah terinfeksi bagaimana caranya supaya dia bisa terselamatkan. Tapi poinnya di sini kan, bagaimana tidak bisa tersebar?” tandasnya.

Suster Afit Perah ASI di Waktu Senggang

Suster Afit

Afit kini bekerja sebagai suster yang merawat pasien Covid-19 di Wisma Atlet Kemayoran.

Ia mengabadikan dan membagikan hari-hari yang dilewati kepada masyarakat melalui Youtube.

Para tenaga medis di Wisma Atlet diharuskan tinggal di tempat khusus yang disediakan dan jauh dari keluarga.

Untuk mengobati rasa rindunya, ia selalu membawa baju anaknya yang masih membutuhkan air susu ibu (ASI).

Meski tak tinggal serumah dengan anaknya, Afit tetap memberikan ASI untuk si buah hatinya.

Caranya, Afit memerah ASI di waktu senggang. ASI itu kemudian dijemput oleh suaminya.

“Alhamdulilah pagi ini sudah dapat susu (ASI) untuk anak saya di rumah, about sixty or something. Yah, tidak apa namanya juga ibu pekerja, yang ibu-ibu karier di luar sana juga tahu kalau kita ada sedikit gangguan akan berpengaruh sama produksi ASI kita,” kata Afit.

Saat ASI dijemput suami, Afit hanya hanya bisa berbicara dan bertatap muka dari kejauhan, tanpa bisa berpelukan melepas rindu.

“Salam buat Aro (anak) yaa, makasih Momo (suami),” kata Afit sambil menatap suami berjalan meninggalkannya.[psid]