logo

17 Januari 2021

Sim Salabim, Vaksin Datang Masalah Dianggap Hilang



Oleh:Nizwar Affandi
 AWAL tahun ini, selain berita duka jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182, serentetan bencana alam dan wafatnya sejumlah ulama besar, pemerintah seakan gegap-gempita kampanyekan vaksinasi Sinovac.

Gema sosialisasi vaksin anticorona itu memantul ke seluruh media, memantul hingga semua ruang publik dan privat. Vaksinasi, beberapa hari ini, seolah telah "menyihir" kita untuk euforia merdeka dari Covid-19 dan sosial ekonomi bakal segera meroket.

Efek narasi besar yang dibangun bukan lagi sekedar pesan psikologis bahwa sekarang sudah mulai dijalankan alternatif pengendalian pandemi Covid-19 selain 3T (testing, tracing, treatment) dan 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak).

Resonansi psikologis dari kampanye vaksinasi sudah melampaui itu, adrenalin publik seperti ingin dipompa sampai menyundul langit agar percaya bahwa vaksinasi akan segera mengakhiri pandemi.

Saking percayanya tidak sedikit yang kemudian malah menjadi misslead meyakini vaksinasi sebagai satu-satunya juru selamat mengakhiri pandemi.

Di kalangan masyarakat awam, sikap overestimate itu ditunjukkan dengan tren perilaku yang semakin permisif melonggarkan disiplin protokol kesehatan. Contoh paling konyol sudah ditunjukkan oleh Raffi Ahmad kemarin.

Sedangkan di kalangan pejabat pemerintah, rangkaian seremoni kick off vaksinasi juga seakan menjadi cover mulai mengendurnya kerja 3T.

Bahkan untuk penanganan dampak nonmedis dari pandemi khususnya sosial-ekonomi yang kinerjanya selama ini terasa jeblok seakan diminta maklum, termasuk jangan lagi bersungut-sungut tentang skandal korupsi bantuan sosial yang telah memaksa Presiden Jokowi memberhentikan menteri dari partainya sendiri.

Euforia yang dibangun seperti mendorong kita untuk menghirup angin surga baru, bahwa setelah vaksinasi, sim salabim situasi akan langsung kembali normal dan kondisi sosial-ekonomi seketika akan gilang gemilang.

Laju pertambahan penderita yang terkonfirmasi positif mengidap Covid-19 dan peningkatan angka kematian selama dua minggu terakhir seolah menguatkan kekhawatiran di atas.

Setiap hari tercatat rekor baru angka kumulatif secara nasional karena memang hampir di semua daerah juga rekor-rekor baru dibukukan.

Kekerapan pencatatan rekor baru pada jumlah penderita terkonfirmasi positif dan pada angka kematian itu tidak diikuti dengan kekerapan pencatatan rekor baru angka kesembuhan, rasio testing, dan rasio tracing.

Bagi beberapa daerah yang selama ini kinerja 3T nya tertinggal seperti Lampung misalnya, dimulainya vaksinasi seakan menjadi lonceng penyelamat (save by the bell) kepala daerah.

Apalagi kemenangan dalam lomba yang dibuat oleh Kemendagri semakin lama terasa semakin hambar untuk dibanggakan.

Ketika Covid-19 mulai menjadi pandemi sesungguhnya seluruh pemerintah di dunia ini telah dihadapkan dengan pilihan trade off antara pengendalian pandemi atau pertumbuhan pembangunan.

Di bulan-bulan awal, kebanyakan masih berusaha mencari titik keseimbangan, ingin mengendalikan pandemi sembari tetap menjaga pertumbuhan pembangunan.

Hanya ada sebagian yang langsung berani memilih pengendalian pandemi sekalipun seketika harus merasakan turbulensi perekonomian mengguncang stabilitas keuangan negaranya.

Indonesia termasuk yang berusaha mencari keseimbangan antara injakan rem dan gas selama hampir sebelas bulan ini, sikap itu diikuti sebagian besar kepala daerah.

Walaupun beberapa di antaranya lebih berani menginjak rem lebih dalam.

Gubernur Lampung termasuk salah satu kepala daerah yang masih ambisius mencari ritme memainkan rem dan gas yang paling tepat.

Apakah titik keseimbangan itu tercapai di Lampung? Mari sama-sama kita lihat:

1. Rem Pandemi

Untuk jumlah penderita yang terkonfirmasi positif, di akhir Agustus, posisi Lampung masih berada pada urutan ke-28 dari 34 provinsi. Di pertengahan Januari posisi itu sudah naik berada di urutan ke-20 menyalip 8 provinsi lainnya.

Sedangkan untuk jumlah korban penderita yang meninggal dunia, di akhir Agustus posisi Lampung masih berada pada urutan ke-26 dari 34 Provinsi. Di pertengahan Januari posisi itu sudah naik berada di urutan ke-14 menyalip 12 provinsi lainnya.

Melihat grafik laju pertambahan pasien positif dan angka kematian sejak 18 Maret 2020 sampai hari ini 15 Januari 2021, tampaknya rem yang diinjak oleh Gubernur Arinal sudah mulai kurang pakem khususnya sejak bulan September.

2. Gas Pembangunan

Pertumbuhan ekonomi Lampung yang selama belasan tahun berada di shaf terdepan, sepanjang tahun 2020 melorot ke papan bawah dibandingkan provinsi lainnya di Pulau Sumatera.

Nilai tukar petani (NTP) Lampung yang selama belasan tahun selalu menjadi yang terbaik di Sumatera dan menempati posisi terhormat secara nasional, sepanjang tahun kemarin ambruk menempati posisi juru kunci di Sumatera dan di akhir tahun berada pada posisi ke-31 dari 34 provinsi se-Indonesia.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lampung selama 9 tahun sebelumnya rata-rata tumbuh sebesar 0,91% pertahun, dan indeksnya bertambah rata-rata 0,65 poin setiap tahunnya.

Tahun lalu, IPM Lampung hanya tumbuh 0,17% dan menambah indeks hanya sebesar 0,12 poin saja.

Alhasil, Lampung tetap menjadi juru kunci dan satu-satunya provinsi di Sumatera yang IPM nya masih tertinggal di kategori “sedang”. Berada di bawah rata-rata IPM nasional dan menempati posisi ke-24 dari 34 provinsi.

Tampaknya gas yang diinjak oleh Gubernur Arinal juga seperti kehilangan tenaga, entah karena kebocoran tangki bahan bakar, transmisi mesinnya yang bermasalah atau memang pengemudinya yang kurang cakap?

Angka-angka statistik di atas mestinya sudah lebih dari cukup untuk membuat 66 anggota DPRD Provinsi Lampung (minus Fraksi Golkar dan PKB) bertanya secara resmi kepada Gubernur Arinal dan Wakil Gubernur Nunik, apa yang sebenarnya sedang terjadi dan mau dibawa kemana daerah ini?

2020 sudah berlalu meninggalkan  lebih dari enam ribu rakyat yang terpapar Covid-19 dan lebih dari tiga ratusnya berakhir dengan kematian, 2020 juga telah memukul keras pertumbuhan ekonomi, NTP dan IPM Lampung.

Sementara lebih dari 600 miliar dana publik (229 miliar dari APBD Provinsi) sudah terpakai untuk serangkaian program dan kegiatan yang berlabel “penanganan pandemi”.

Apakah cerita buruk tahun 2020 itu akan diteruskan di tahun 2021? Bisa jadi jika tidak ada perubahan sikap mental dan etos kerja dari para pejabat publik di Lampung.

Satu hal yang harus diingat, hari ini publik masih bisa bertahan merawat sisa-sisa harapan dengan narasi vaksinasi.

Dengan efikasi (angka efektifitas) keberhasilan vaksin yang masih sangat fluktuatif dan volatilitasnya relatif tinggi, sesungguhnya sebagai sebuah bangsa kita sedang melakukan pertaruhan yang sangat luar biasa.

Jika situasi pengendalian pandemi dan kondisi sosial-ekonomi di tahun 2021 tidak kunjung membaik, saya khawatir bangsa ini akan kehilangan harapannya terhadap negara dan pemerintah, bahkan terhadap nilai kebangsaan itu sendiri.

Naudzubillahi minzaliik.
(Pengamat Masalah Pembangunan)