logo

26 Januari 2024

Pakar Hukum Tata Negara: Jokowi Memenuhi Syarat untuk Dimakzulkan



GELORA.CO - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengungkapkan Presiden Jokowi layak untuk dimakzulkan. Menurut dia Jokowi sudah memenuhi Pasal 7a UUD 1945 terkait syarat pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

Salah satu yang disorot Bivitri ialah perbuatan tercela yang menjadi salah satu syarat pemberhentian tersebut. 

"Kalau kita pakai perbuatan tercela pun itu sudah masuk kalau menurut saya. Karena perbuatan tercela itu jangan dianggapnya seperti perbuatan tercela untuk rakyat jelata kayak kita misalnya," kata Bivitri saat diskusi bersama PBHI, Kamis (25/1).

"Ada orang perempuan ke masjid pakai bikini itu perbuatan tercela untuk ukuran kita. Kalau untuk presiden kita harus lihat dari konteks jabatannya. Apa yang patut dan tidak patut dalam jabatan itu," tambahnya.

Bivitri menjelaskan sikap Jokowi yang menunjukkan berpihak terhadap paslon tertentu merupakan perbuatan tercela. Sebab ia dinilai telah melanggar UU Pemilu.

"Dalam Pasal 282, 283 bahwa pejabat negara itu tidak boleh melakukan tindakan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta selama kampanye. Jadi sudah melanggar belum? Sudah. Jadi apakah itu bisa dorong sampai pemakzulan? Menurut saya bisa," ujar Bivitri.

Bivitri menerangkan Jokowi tidak bisa menggunakan Pasal 299 UU Pemilu untuk mengkampanyekan paslon tertentu. Sebab pasal itu sebenarnya dibuat untuk capres petahana, sedangkan Jokowi saat ini bukan capres petahana.

Tapi Jokowi bisa ikut serta kampanye jika itu untuk parpolnya. Masalahnya Gibran dan Prabowo tidak satu partai dengan Jokowi.

"Pertanyaannya baik Gibran dan Prabowo dari parpol Pak Jokowi yang sekarang bukan? Bukan. Atau ayat lainnya yang bilang bahwa boleh aja, haknya itu tetap muncul kalau si presiden adalah tim kampanyenya resmi, jadi bukan saya mendukung, loh. Tapi harus resmi timnya. Boleh ikut serta," tutur Bivitri.

Maka itu, Bivitri menilai Jokowi telah melakukan perbuatan tercela karena melanggar UU Pemilu. Namun, Bivitri mengakui proses pemakzulan tidak bisa berlangsung dengan cepat.

"Cuma bolanya memang secara dalam ruang politik formal bukan di tangan kita tapi di tangannya DPR. Sekarang kita harus dorong DPR betul-betul bisa memanfaatkan perubahan konfigurasi politik karena koalisi sudah berubah," ujarnya.

Bivitri mengungkapkan proses pemakzulan itu juga bisa jadi bukti demokrasi di Indonesia masih berjalan.

"Pemakzulan itu ukuran keberhasilannya bukan cuma Jokowi jatuh atau tidak, tapi checknya. Pengawasan dari DPR itu jalan atau tidak, yang paling tidak, bisa membuat kita masih punya catatan bahwa demokrasi kita yang sudah di tepi jurang, tapi masih berontak selamatkan diri," pungkasnya.

Sumber: kumparan