GELORA.CO - Para dosen hukum mengutuk keras aksi teror dan intimidasi terhadap kelompok studi mahasiswa UGM yang hendak melakukan diskusi bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”.
Diskusi yang dijadwalkan pada 29 Mei 2019 tersebut batal dilaksanakan lantaran panitia penyelenggara dari “Constitutional Law Society” Fakultas Hukum UGM diteror oleh oknum tertentu.
Panitia yang keseluruhannya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UGM mengalami tindakan intimidasi dan ancaman verbal untuk mengubah judul kegiatannya hingga berujung pada pembatalan kegiatan.
Teror terhadap insan akademik dan penyelenggaraan diskusi di Yogyakarta itu membuat berang Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia (ADPHI).
Dalam pernyataan sikap beberapa asosiasi ini, terdapat beberapa nama sebagai narahubung. Yaitu, Susi Dwi Harijanti, Zainal Arifin Mochtar, Herlambang P. Wiratraman, Charles Simabura, dan Widodo Dwi Putro.
Dijelaskan, kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik.
Kebebasan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai sistem hukum HAM universal yang diakui dan dilindungi keberadaannya di Indonesia.
Hal tersebut dituangkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Terlebih di dalam dunia akademis, kebebasan berpendapat itu semakin dilindungi dengan adanya konsep kebebasan akademik, yang secara tegas diakui oleh negara yang tertuang di dalam UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8 ayat (1) menyatakan: “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan”.
Kebebasan Akademik juga diakui dan dihormati secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988).
Namun dewasa ini, tekanan terhadap kebebasan akademik masih menyisakan persoalan yang rumit. Kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mengemukakan pemikirannya masih saja mendapat perlawanan dari berbagai pihak.
Para asosiasi pengajar hukum ini mengecam tindakan intimidasi terhadap mahasiswa UGM hingga membatalkan kegiatan diskusi. Mereka menyatakan tiga sikap.
Pertama, mengutuk keras segala bentuk tindakan intimidasi dan ancaman yang dilakukan kepada penyelenggara kegiatan diskusi akademik yang di selenggarakan oleh kalangan civitas akademika.
Kedua, menuntut adanya kebebasan akademik penuh sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi dan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik, terutama prinsip keempat: Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan; serta prinsip kelima: Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.
Ketiga, meminta pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum, untuk melindungi segala bentuk kegiatan akademik yang diselenggarakan civitas akademika sebagai bagian dari kebebasan akademik penuh.
“Demikian pernyataan sikap ini dibuat, sebagai bentuk perlawanan kami terhadap setiap tindakan yang bertujuan melemahkan dunia akademik Indonesia dan juga sebagai seruan kepada seluruh civitas akademika di Indonesia untuk tidak takut dan terus menyuarakan kebenaran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa terus memberikan keselamatan bagi negeri ini dan dunia pendidikannya,” demikian pernyataan sikap mereka.[psid]