GELORA.CO - Tekanan internasional terhadap Cina menguat seputar isu Hong Kong. Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Kanada mengecam UU antisubversi yang disahkan parlemen Cina baru-baru ini. Keempat negara menilai legislasi tersebut melanggar perjanjian penyerahan kedaulatan Hong Kong yang dibuat antara Cina dan Inggris tahun 1984.
"Hong Kong tumbuh pesat sebagai benteng kebebasan," tulis perwakilan keempat negara dalam sebuah pernyataan bersama. UU Keamanan Nasional diyakini "akan memberangus kebebasan warga Hong Kong, dan secara dramatis menyusutkan otonomi Hong Kong dan sistem yang membuat kawasan ini sedemikian makmur."
Inggris, yang menguasai Hong Kong selama 150 tahun hingga 1997 silam, memperingatkan Cina atas konsekuensi negatif langkah tersebut. "Kami mengimbau Cina agar mundur," kata Menteri Luar Negeri Dominic Raab.
Jurubicara Kementerian Luar Negeri Cina Zhao Lijian mengritik reaksi internasional atas situasi di Hong Kong. Dalam sebuah jumpa pers di Beijing, Rabu (27/5), Zhao mengingatkan Hong Kong adalah kawasan administrasi di bawah kedaulatan Cina dan karena itu UU Keamanan Nasional "adalah urusan dalam negeri. Negara lain tidak berhak mencampuri."
Otonomi Hong Kong dijamin di dalam konsep "satu negara dua sistem" yang menjadi jantung perjanjian penyerahan kedaulatan yang ditandatangani Perdana Menteri Zhao Ziyang dan Margaret Thatcher, tahun 1984 silam.
Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Kanada menilai legislasi baru yang menempatkan tindak subversi melawan pemerintah setara delik terorisme itu mengancam prinsip dasar perjanjian.
Demokrasi Hong Kong "harus dihormati"
Kritik senada datang dari Jerman. Menteri Luar Negeri Heiko Maas mendesak Cina agar menghormati prinsip satu negara dua sistem. Menurutnya "kebebasan berekspresi dan berkumpul," serta diskursus demokratis "harus terus dihormati di masa depan," kata dia, Kamis (28/5).
"Kami menyepakati di Uni Eropa, bahwa status otonomi Hong Kong tidak boleh dilucuti. Warga Hong Kong menikmati kebebasan dan hak sipil yang dijamin oleh Undang-undang Dasar dan prinsip satu negara dua sistem. Prinsip hukum ini akan ditegakkan."
UU Keamanan Nasional diyakini akan digunakan buat membungkam demonstrasi kelompok pro-demokrasi di Hong Kong. Menurut Mass, UU tersebut tidak bisa dibiarkan mengusik nilai-nilai fundamental demokrasi sesuai isi perjanjian.
"Kebebasan berekspresi dan berkumpul, juga diskursus demokratis di Hong Kong, juga harus dihormati di masa depan."
Mengungsi ke luar negeri
Eskalasi konflik antara Hong Kong dan pemerintah Cina turut memicu gelombang emigrasi terbesar sejak penyerahan kedaulatan tahun 1997.
Jumlah penduduk yang ingin berganti kewarganegaraan terutama meningkat tajam di dua kuartal terakhir 2019, ketika 50.000 orang mengajukan pergantian paspor di tengah gelombang demonstrasi massal.
Bulan Desember lalu kepolisian melaporkan 20.000 warga meminta surat kelakuan baik yang menjadi syarat pengajuan kewarganegaraan. Angka tersebut 60% lebih tinggi ketimbang periode yang sama di tahun sebelumnya.
Josephine, jurnalis perempuan di usia 30, mengatakan dia awalnya bersikeras menetap di Hong Kong meski Beijing mulai mengintervensi. Namun UU Keamanan Nasional membuatnya berpikir meninggalkan tempat kelahiran.
"Saya tidak percaya bahwa warga Hong Kong kelak akan menjadi pengungsi,Tekanan internasional terhadap Cina menguat seputar isu Hong Kong. Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Kanada mengecam UU antisubversi yang disahkan parlemen Cina baru-baru ini. Keempat negara menilai legislasi tersebut melanggar perjanjian penyerahan kedaulatan Hong Kong yang dibuat antara Cina dan Inggris tahun 1984.
"Hong Kong tumbuh pesat sebagai benteng kebebasan," tulis perwakilan keempat negara dalam sebuah pernyataan bersama. UU Keamanan Nasional diyakini "akan memberangus kebebasan warga Hong Kong, dan secara dramatis menyusutkan otonomi Hong Kong dan sistem yang membuat kawasan ini sedemikian makmur."
Inggris, yang menguasai Hong Kong selama 150 tahun hingga 1997 silam, memperingatkan Cina atas konsekuensi negatif langkah tersebut. "Kami mengimbau Cina agar mundur," kata Menteri Luar Negeri Dominic Raab.
Jurubicara Kementerian Luar Negeri Cina Zhao Lijian mengritik reaksi internasional atas situasi di Hong Kong. Dalam sebuah jumpa pers di Beijing, Rabu (27/5), Zhao mengingatkan Hong Kong adalah kawasan administrasi di bawah kedaulatan Cina dan karena itu UU Keamanan Nasional "adalah urusan dalam negeri. Negara lain tidak berhak mencampuri."
Otonomi Hong Kong dijamin di dalam konsep "satu negara dua sistem" yang menjadi jantung perjanjian penyerahan kedaulatan yang ditandatangani Perdana Menteri Zhao Ziyang dan Margaret Thatcher, tahun 1984 silam.
Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Kanada menilai legislasi baru yang menempatkan tindak subversi melawan pemerintah setara delik terorisme itu mengancam prinsip dasar perjanjian.
Demokrasi Hong Kong "harus dihormati"
Kritik senada datang dari Jerman. Menteri Luar Negeri Heiko Maas mendesak Cina agar menghormati prinsip satu negara dua sistem. Menurutnya "kebebasan berekspresi dan berkumpul," serta diskursus demokratis "harus terus dihormati di masa depan," kata dia, Kamis (28/5).
"Kami menyepakati di Uni Eropa, bahwa status otonomi Hong Kong tidak boleh dilucuti. Warga Hong Kong menikmati kebebasan dan hak sipil yang dijamin oleh Undang-undang Dasar dan prinsip satu negara dua sistem. Prinsip hukum ini akan ditegakkan."
UU Keamanan Nasional diyakini akan digunakan buat membungkam demonstrasi kelompok pro-demokrasi di Hong Kong. Menurut Mass, UU tersebut tidak bisa dibiarkan mengusik nilai-nilai fundamental demokrasi sesuai isi perjanjian.
"Kebebasan berekspresi dan berkumpul, juga diskursus demokratis di Hong Kong, juga harus dihormati di masa depan."
Mengungsi ke luar negeri
Eskalasi konflik antara Hong Kong dan pemerintah Cina turut memicu gelombang emigrasi terbesar sejak penyerahan kedaulatan tahun 1997.
Jumlah penduduk yang ingin berganti kewarganegaraan terutama meningkat tajam di dua kuartal terakhir 2019, ketika 50.000 orang mengajukan pergantian paspor di tengah gelombang demonstrasi massal.
Bulan Desember lalu kepolisian melaporkan 20.000 warga meminta surat kelakuan baik yang menjadi syarat pengajuan kewarganegaraan. Angka tersebut 60% lebih tinggi ketimbang periode yang sama di tahun sebelumnya.
Josephine, jurnalis perempuan di usia 30, mengatakan dia awalnya bersikeras menetap di Hong Kong meski Beijing mulai mengintervensi. Namun UU Keamanan Nasional membuatnya berpikir meninggalkan tempat kelahiran.
"Saya tidak percaya bahwa warga Hong Kong kelak akan menjadi pengungsi," kata dia kepada reporter DW, Ching-yan Lee. "Saya ingin beremigrasi."" kata dia kepada reporter DW, Ching-yan Lee. "Saya ingin beremigrasi."(dtk)