Penulis: Igor Dirgantara
Dosen Fisip Universitas Jayabaya, Director Survey & Polling Indonesia (SPIN)
KEPULANGAN Habib Rizieq Shihab (HRS) mendapat cukup antusiasme dari komunitas Islam. Gerakan umat kembali terdengar dan menemukan wadahnya pasca kembalinya HRS ke tanah air.
HRS dipandang bisa menjadi tokoh gerakan moral dan oposisi yang konstruktif bagi mereka yang berseberangan dengan pemerintah.
Ini sebenarnya ironi dan paradoks dalam politik Islam di Indonesia. Karena faktanya tanpa HRS, umat muslim di Indonesia sebenarnya sudah punya 'wadah' besar, yaitu NU dan Muhammadiyah. Namun sosok HRS saat ini tampak lebih menonjol. Ormas dan tokoh lainnya baik dari NU, maupun Muhammadiyah seolah redup dan tenggelam.
Padahal salah satu tokoh NU saat ini, yaitu KH Maruf Amin menjabat sebagai Wapres RI. Jika nanti terjadi pertemuan antara HRS dan Maruf Amin, ini salah satu yang paling ditunggu oleh publik. Apakah efek pertemuan dua tokoh ulama ini bakal bisa sebanding dengan pertemuan Jokowi-Prabowo pasca Pilpres 2019 di MRT?
Sekarang ini, seperti ada asumsi bahwa aspirasi umat muslim seperti tidak difasilitasi oleh NU, Muhammadiyah, atau parpol berbasis massa Islam, bahkan DPR. Pemerintah Jokowi dapat menguasai mayoritas parpol di DPR, tetapi kepulangan HRS bisa menjadi embrio dari konsolidasi kekuatan oposisi non-parlemen di saat mekanisme "check and balances" terhadap kebijakan pemerintah terasa mandul.
Demokrasi dipandang cuma memfasilitasi segelintir orang (oligarki) dalam mengakses kekuasaan. HRS diharapkan bisa menyuarakan ketidakadilan di masyarakat dan penyambung lidah umat yang terpinggirkan. Tak heran jika mantan Wapres Jusuf Kalla turut mengomentari bahwa fenomena HRS terjadi karena ada kekosongan kepemimpinan di Indonesia dalam menyerap aspirasi masyarakat luas.
HRS mungkin populer dan punya pengaruh, tetapi itu mungkin terlihat hanya di Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Sumatera Barat. Belum tentu pengaruh HRS sekuat Kiai tradisional NU di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura, sampai ke pelosok pedesaan terpencil.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern di Indonesia juga punya pengikut yang lebih besar dari pada FPI. Tetapi saat ini HRS menjadi idola karena tak ada tokoh seperti dirinya yang lantang memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Hal ini sebenarnya juga konsekuensi alamiah dari demokrasi itu sendiri. Dalam negara demokrasi, tokoh yang dianggap bisa menjadi oposisi pasti akan punya pengaruh dan pengikut untuk menjadi penyeimbang (balancer) bagi pemerintah.
Bisa diprediksi bahwa sosok HRS dan massa pengikutnya akan diperebutkan oleh sejumlah partai politik, terutama yang berbasis massa Islam untuk mendulang suara dalam kontestasi pemilu 2024 sebagai vote getter. Tetapi hal ini juga perlu pembuktian lebih lanjut, karena proporsi terbesar pemilih di Indonesia itu berada di "tengah". Yang "terlalu kiri" atau yang terlalu "kanan" tidak potensial jumlahnya.
Sebagai contoh total perolehan suara Gerindra pada Pilpres 2019 (17,5 juta suara) saat ada dukungan HRS kepada Prabowo Subianto hanya naik 2,8 juta suara dari 14,7 juta suara pada tahun 2014. Suara Gerindra justru naik signifikan 10,1 juta suara sebelum ada dukungan dari HRS, yaitu dari 4,6 juta suara (tahun 2009) menjadi 14,7 juta suara (2014).
Pasca kepulangan HRS, ada masyarakat yang berharap terjadi sinergi antara figur HRS dengan perjuangan Gatot Nurmanto (GN) lewat Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), maka akan terwujud apa yang bisa disebut sebagai "oposisi reborn".
GN dan HRS merupakan paduan dua tokoh kekuatan politik militer dan Islam, serta menjadi simbol duet gerakan moral dan oposisi yang konstruktif dengan jumlah pengikut yang real. Di negara demokrasi dimanapun juga selalu ada oposisi. Di negara demokrasi, kebijakan pemerintah yang menguntungkan rakyat akan selalu didukung.
Begitu juga sebaliknya, tokoh oposisi akan menjadi fenomenal jika ada yang kurang pas dari apa yang sudah dilakukan pemerintah, apalagi yang cuma di endorse oleh buzer-buzer di medsos tapi tanpa pengikut yang real di dunia nyata.
Politik itu memang sebuah kontes adu drama dan perang narasi antara pemerintah dan oposisi. Bagaimanapun komunikasi publik yang smart dan santun lebih banyak menuai simpati publik, daripada sebaliknya. Tetapi kekuasaan yang selalu membela kepentingannya sendiri, senantiasa melahirkan oposisi. ***