GELORA.CO - Massa pendukung Habib Rizieq Shihab (HRS) bisa menjadi modal kekuatan oposisi untuk kembali melakukan check and balances terhadap kebijakan pemerintah era Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin.
Menurut pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara, hal tersebut patut diperhitungkan mengingat euforia umat muslim Indonesia menguat pasca kepulangan imam besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut.
Igor mengatakan, belakangan umat muslim yang kontra dengan pemerintah seakan tidak difasilitasi oleh Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, parpol berbasis massa Islam, serta DPR RI. Namun dengan kehadirah HRS, suara mereka kembali terfasilitasi.
"Pemerintah Jokowi bisa saja menguasai mayoritas parpol di DPR, tetapi kepulangan HRS bisa menjadi embrio dari konsolidasi kekuatan oposisi nonparlemen di saat mekanisme check and balances terhadap kebijakan pemerintah terasa mandul," kata Igor kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (22/11).
HRS kata dia, diharapkan bisa menyuarakan ketidakadilan di masyarakat dan penyambung lidah umat yang terpinggirkan. Terlebih demokrasi cuma memfasilitasi segelintir orang (oligarki) dalam mengakses kekuasaan.
Namun demikian, ia tak memungkiri kepopuleran Habib Rizieq lebih besar di kota-kota tertentu, seperti Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Sumatera Barat. Pengaruh Habib Rizieq belum teruji di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan pelosok pedesaan terpencil yang lebih condong ke kiai tradisional NU.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern di Indonesia juga punya pengikut yang lebih besar daripada FPI. Dijelaskan Igor, Habib Rizieq menjadi fenomena karena ketiadaan tokoh yang berani memberikan kritik terhadap pemerintah.
"Ini konsekuensi alamiah dari demokrasi. Tokoh yang dianggap bisa menjadi oposisi pasti akan punya pengaruh dan pengikut sebagai penyeimbang pemerintah," tutupnya. (*)