GELORA.CO - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden diyakini akan berpikir seribu kali untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Indonesia. Sebab, rezim Joko Widodo dinilai sebagian kalangan sudah mendegradasi iklim demokrasi di tanah air.
Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto mengingatkan, terpilihnya Jow Biden menjadi Presiden ke-46 AS tidak akan menghentikan perang dagang AS dengan China.
Sebab, permasalahan antar kedua negara raksasa tersebut dianggap sudah sangat rumit. Mulai dari dominasi AS manipulasi mata uang di China, hingga masalah pengaruh klaim China di jalur laut Asia Selatan.
"Namun tentunya gaya Biden dan Trump akan berbeda dan treatment penyelesaiannya kemungkinan tidak akan secara agresif ataupun dengan cara yang intimidatif seperti gaya Donald Trump," ujar Satyo kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (24/1).
Faktor kepemimpinan Biden tersebut, kata mantan Sekretaris Jenderal (Sekien) Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) ini, akan berpengaruh terhadap Indonesia.
Di mana, sudah menjadi tradisi jika Partai Demokrat memimpin AS, isu demokrasi, hak asasi manusia (HAM). dan ekologi menjadi isu sentral dan sangat mempengaruhi politik luar negeri AS.
Apalagi, di akhir kepemimpinan Donald Trump beberapa menteri dari Indonesia seperti Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menemui Trump ketika rezim berganti.
"Sudah pasti kebijakan di era Trump akan dievaluasi dan akan banyak 'syarat' bagi pemerintahan Jokowi bila akan melanjutkan kerja sama dengan AS di era Biden. Isu demokrasi, HAM, dan ekologi akan menjadi prasyaratnya," jelas Satyo.
"Kita tahu beberapa waktu belakangan ini pemerintahan Jokowi dianggap mendegradasi demokrasi, indeks demokrasi terjun ke tingkat terbawah sejak era reformasi," sambung Satyo.
Satyo kemudian membeberkan penyebab rezim Jokowi dianggap mendegradasi demokrasi. Pertama, terkait penanganan aksi demonstrasi. Misalnya, terkait Pilpres 2019, demonstrasi di beberapa kota yang menolak revisi UU KPK, RKUHP, dan aksi menolak UU Cipta Kerja.
"Kemudian penangkapan beberapa aktivis pro demokrasi karena menolak disahkannya UU Cipta kerja dan penanganan oleh aparat yang represif dan kerap menimbulkan korban jiwa, hingga terkait kasus terbunuhnya 6 anggota FPI di jalan tol Cikampek," terang Satyo.
Dengan demikian, persoalan tersebut akan menjadi agenda yang akan diklarifikasi oleh rezim Joe Biden terkait hubungan kerjasama kedua negara di masa depan.
Bagaimana pun, AS siapapun presidennya akan memiliki kepentingan yang sama dalam tujuan kendali kawasan Asia Pasifik.
"Indonesia jika terlalu berharap pada AS tentunya akan menghadapi politik luar negeri AS di era Biden yang demokrat yang lebih mengutamakan soft power, diplomasi dan kekuatan perang hibrida," pungkas Satyo.[rmol]