GELORA.CO - Perjanjian Batutulis yang disepakati Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sudah selesai pada Pemilu 2009.
Hal itu ditegaskan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dalam diskusi daring SARA Syndicate di Jakarta, Jumat (28/5).
Penegasan Hasto itu hanya berlaku pada Perjanjian Batutulis. Perjanjian ini dinilai sudah tidak berlaku lagi dengan kalahnya pasangan Mega-Prabowo pada Pilpres 2009.
Namun demikian, peluang PDIP dan Gerindra untuk berkoalisi pada Pilpres 2024 masih sangat terbuka. Kemungkinan itu juga datang dari Hasto yang menyatakan PDIP nyaman berkoalisi dengan Gerindra, PKB, PAN, dan PPP. Hasto hanya menegaskan, PDIP tidak bisa berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKS yang berbeda ideologi.
Karena itu, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga mengatakan, peluang memasangkan Prabowo-Puan atau kader lain dari dua partai tersebut tampaknya masih terbuka.
"Masalahnya tinggal siapa yang akan jadi capres dan cawapres?" ujar mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (29/5).
Menurut Jamiluddin, kalau dilihat dari logika politik, seharusnya capresnya PDIP dan cawapresnya dari Gerindra. Logika itu didasari dari perolehan suara pada Pemilu 2019, dimana PDIP memperoleh suara paling banyak.
Selain itu, Hasto juga sudah memberi sinyap bahwa PDIP akan mengusung capres, bukan cawapres. Sinyal ini jelas, peluang calon PDIP menjadi cawapres menjadi kecil.
Di lain pihak, lanjut Jamiluddin, Prabowo dengan elektabilitas yang sangat moncer tentu sulit baginya untuk diusung sebagai cawapres. Apalagi kalau dipasangkan dengan capresnya Puan Maharani yang elektabilitasnya saat ini sangat rendah.
"Jadi, kalau Prabowo yang diusung Gerindra sebagai capres dan PDIP juga menghendaki posisi yang sama, maka sulit bagi kedua partai untuk berkoalisi. Kedua partai akan berpisah dan mencari partai lain untuk berkoalisi," tutur Jamiluddin.
Hanya saja, masih ada sebersit harapan duet Prabowo-Puan maju pada Pilpres 2024 mengingat ada kedekatan hubungan Mega dengan Prabowo. Sejak Prabowo masuk Kabinet Jokowi, hubungan Mega-Prabowo memang semakin hangat.
Mega juga tampaknya berkeinginan agar trah Soekarno mengisi posisi kepemimpinan nasional pada tahun 2024. Sebab, kalau pada tahun 2024 tidak menjadi presiden atau wakil presiden, maka trah Soekarno akan kehilangan momentum.
"Bila itu terjadi, maka tidak menutup kemungkinan trah Soekarno juga akan meredup paska Megawati ketua umum. Hal itu tentu tidak diinginkan Mega," kata Jamiluddin.
Selain itu, koalisi dua partai itu masih terbuka bila Prabowo tidak ikut nyapres. Gerindra misalnya mendorong Sandiaga Uno untuk cawapres, sementara PDIP mengusung Puan Maharani atau Ganjar Pranowo menjadi capres.
Pasangan Puan-Sandiaga atau sebaliknya memang dapat diduetkan. Hanya saja pasangan ini berpeluang menang pada Pilpres 2024 sangat kecil. Penyebabnya faktor Puan yang memang kurang memiliki nilai jual.
Sementara pasangan Ganjar-Sandiaga atau sebaliknya tampaknya lebih menjanjikan. Masing-masing individu memiliki elektabilitas yang baik. Keduanya punya nilai jual yang bagus untuk dipasarkan, sehingga peluang menang masih terbuka.
"Masalahnya, pasangan Ganjar-Sandiaga kemungkinan akan mendapat penolakan dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Mega tampaknya akan keukeuh mengusung Puan yang merupakan trah Soekarno," ucap Jamiluddin.[rmol]