GELORA.CO - Setiap pernyataan yang keluar dari mulut seorang pejabat publik hendaknya bukan kelakar yang menganggap sepele masalah besar. Khususnya saat rakyat sedang dirundung kekhawatiran menghadapi wabah virus corona baru atau Covid-19.
Begitu kata analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menanggapi kekhawatiran Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur, dr Joni Wahyuhadi bahwa kondisi penularan corona di wilayah Surabaya Raya berpotensi seperti Kota Wuhan, China.
Menurutnya, tingkat penularan atau rate transmission di Surabaya yang mencapai angka 1.6, atau ketika ada 10 orang terinfeksi Covid-19 dalam satu minggu bertambah jadi 16 orang, sudah masuk kategori berbahaya.
“Kasus kumulatif virus corona di Provinsi Jawa Timur juga telah menembus angka 4.112 pasien. Sejumlah 548 pasien di antaranya sembuh dan 337 pasien lainnya meninggal dunia," ujarnya, Jumat (29/5).
Atas alasan itu, dia meminta kepala daerah tidak lagi menganggap masalah ini sepele. Ubedilah tidak ingin ada lagi kelakar seperti yang pernah dilontarkan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini di awal sebaran corona.
Kala itu, dengan enteng Risma menanggapi peringatan bahwa wilayahnya masuk zona merah. Risma menyebut Surabaya memang zona merah, hal itu mengacu pada kemenangan PDIP selama bertahun-tahun di wilayah tersebut.
"Dalam situasi yang makin membahayakan itu, sebaiknya respon elit lokal seperti Walikota Surabaya mesti hati-hati. Hindari narasi yang bernada kelakar atau menyepelekan," kata Ubedilah.
Sehingga, Ubedilah menilai kelakar yang disampaikan Risma pada pertengahan Maret lalu itu terlalu berlebihan dan terlalu politis di tengah pandemik Covid-19.
"Jadi soal zona merah Surabaya dikelakari sebagai zona PDIP itu juga kelakar yang berlebihan, terlalu politis, dan tidak etis di tengah warga Surabaya yang sedang menghadapi situasi sulit," pungkas Ubedilah. (*)